BERKAH News24 - Komunitas Budaya Pamong Wengker memfasilitasi dialog penulusuran ulang jejak sejarah Hari Jadi Kabupaten Ponorogo dimana pada tanggal 11 Agustus yang pada 2025 ini memasuki usia 529 tahun melalui Seminar Bedah Sejarah Ponorogo.
Kalangan budayawan, akademisi, serta arkeolog dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI ikut terlibat dalam seminar dengan pembahasan hangat di aula Bapperida Ponorogo. Mereka dari awal sepakat bukan hendak menggugat penetapan tanggal Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang peringatannya sudah berlangsung selama ini. Namun, mengedepankan pendekatan metodologis berdasarkan sumber-sumber primer seperti prasasti, artefak, dan dokumen resmi masa lalu.
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko juga sepaham bahwa sejarah bukan sesuatu yang statis. Namun, senantiasa berkembang seiring penemuan dan pemahaman baru. Karena itu, pihaknya membuka ruang seluas-luasnya bagi para ahli untuk menelusuri akar sejarah Hari Jadi Ponorogo. “Intinya adalah agar kajian bukan berdasarkan cerita tutur atau legenda, melainkan melalui pendekatan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Kang Giri, seperti dalam siaran tertulisnya Pemkab Ponorogo, Jum’at (29/8/2025).
Riski Susantini dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI menjelaskan, penetapan hari jadi sebuah daerah pada umumnya berdasarkan pada bukti faktual yang memiliki pertanggalan jelas. Dalam konteks arkeologi biasanya merujuk pada angka tahun yang tercantum dalam prasasti atau dokumen resmi lainnya. Untuk wilayah Ponorogo, salah satu catatan tertua yang pernah ditemukan adalah Prasasti Taji dari tahun 927 Masehi yang berasal dari masa pemerintahan Raja Balitung di era Mataram Kuno. Namun, dia mengingatkan eksistensi wilayah dalam prasasti belum tentu menjadi landasan terbentuknya pemerintahan formal. “Perlu pembacaan lebih teliti karena biasanya prasasti-prasasti itu menyampaikan sebuah upacara atau penghargaan pada orang yang berjasa,” jelasnya.
Menurut Riski, setiap daerah memiliki pendekatan yang berbeda dalam menentukan hari jadi. Ada yang menetapkannya berdasarkan awal mula keberadaan wilayah dalam catatan sejarah, ada pula yang mendasarkannya pada terbentuknya sistem pemerintahan administratif. Termasuk yang merujuk pada sumber masa kolonial seperti Staatsblad Belanda. Semua pilihan tersebut sah secara metodologis, selama disepakati melalui pertimbangan yang matang. “Dalam hal ini, saya berharap Ponorogo membentuk tim khusus yang dapat menelaah berbagai sumber, menyusun analisis, dan merumuskan kesepakatan yang paling sesuai dengan identitas dan nilai historis daerah,” ucapnya.
Dia menilai pengkajian ulang terhadap hari jadi menjadi bentuk kedewasaan kolektif dalam melihat masa lalu yang bukan semata sebagai kebanggaan. Melainkan juga sebagai fondasi berpikir dan bertindak menuju masa depan. “Apa pun hasilnya nanti, baik tetap menggunakan tanggal 11 Agustus atau muncul usulan baru, semua akan menjadi bagian dari perjalanan intelektual dan kultural Ponorogo,” pungkasnya. (yan/hjr)