BERKAH News24 - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), baru-baru ini menutup enam grup Facebook dan 30 link yang terkait, yang mengandung konten menyimpang.
Di antara grup media sosial yang berisi konten menyimpang
dan ditutup tersebut adalah Grup FB "Fantasi Sedarah" yang memiliki
32 ribu pengikut.
Grup-grup di medsos dengan konten menyimpang tersebut sudah membuat resah
masyarakat karena isinya seputar eksploitasi seksual anak dan hubungan
sedarah (incest).
Kasus grup medsos dengan konten menyimpang ini terungkap
di saat Kementerian Komdigi masih berfokus pada pengawasan akun judi daring dan
kejahatan perbankan digital, padahal keberadaan grup-grup medsos seperti itu
juga jelas-jelas melanggar hukum dan membahayakan moral masyarakat. Kasus ini
pun baru terungkap setelah netizen ramai-ramai melaporkan dan memprotes
keberadaan grup tersebut.
Netizen heboh karena ada akun yang dianggap meresahkan
dan berbahaya. Pemerintah, lewat Kemkomdigi, sebagai wujud hadirnya negara,
bergerak cepat menutup grup tersebut.
Sudah sedemikian parahnya kah kondisi moral masyarakat
kita, sehingga mereka menjadi pengikut grup semacam ini? Kita tidak bisa
mendeteksi dengan jelas siapa saja yang menjadi pengikut karena sifat anonim
media sosial. Siapa pun bisa bergabung, tanpa harus menunjukkan identitas asli.
Hal ini juga yang menjadi kelemahan media sosial, yang
bisa dijadikan tempat aman bagi pelaku tindak kriminal untuk beraksi, tanpa
mudah diketahui.
Pada awal 2025, "We Are Social" melaporkan
bahwa ada sekitar 143 juta identitas pengguna media sosial di Indonesia, dengan
Facebook menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan. Platform ini
dilaporkan memiliki 122 juta pengguna di Indonesia pada awal 2025.
Kemunculan kasus ini memperjelas tanda bahwa dekadensi
moral di tengah masyarakat harus menjadi perhatian bersama. Norma agama dan
sanksi sosial perlu digalakkan kembali di tengah masyarakat yang kini banyak
berinteraksi di media dosisl. Media sosial menjadi lahan subur bagi mereka yang
ingin mencari atau menampilkan imaji-imaji seksual menyimpang.
Di sisi lain, patut diapresiasi langkah Kementerian
Komdigi, yang sebelumnya juga sudah menutup sejumlah situs porno di masa
kepemimpinan Meutia Hafidz.
Dua sisi medsos
Media sosial bisa digunakan untuk menyebar kebaikan
maupun kejahatan, tergantung pada niat pemakainya. Bila niat sudah jahat, media
apapun bisa digunakan untuk berbuat jahat. Sebaliknya, orang yang berniat
mulia, orang bisa menyebarkan kebaikan kepada netizen lain melalui media
sosial.
Sejatinya langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah (Dikdasmen) memerlukan waktu yang tepat saat menerapkan kurikulum
mengenai coding dan algoritma dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, sebelum
mempersiapkan dasar-dasar literasi digital kepada siswa.
Selain pengenalan dasar coding dan algoritma, sangat
penting untuk memasukkan pendidikan tentang cybercrime dan etika
media sosial dalam kurikulum. Anak-anak perlu diberikan pemahaman yang jelas
mengenai berbagai bentuk kejahatan siber, seperti penipuan daring, peretasan,
penyebaran konten negatif, serta pelecehan dan bullying di dunia
maya. Dengan demikian, mereka tidak hanya mampu mengenali potensi ancaman,
tetapi juga dapat mengambil langkah pencegahan yang tepat.
Pendidikan etika media sosial juga harus menjadi bagian
integral dari pembelajaran literasi digital. Siswa harus diajarkan bagaimana menggunakan
media sosial secara bertanggung jawab, menghormati privasi orang lain, dan
menyaring informasi yang mereka terima agar tidak mudah terjebak pada hoaks
atau konten yang merusak nilai-nilai sosial dan moral. Materi ini juga perlu
menekankan pentingnya sikap kritis terhadap informasi dan perilaku digital yang
sesuai dengan norma sosial dan budaya Indonesia.
Dengan membekali siswa dengan pengetahuan tentang cybercrime dan
etika media sosial, kita tidak hanya melindungi mereka dari risiko kejahatan siber,
tetapi juga membentuk generasi muda yang bijak dan bertanggung jawab dalam
menggunakan teknologi digital. Hal ini akan memperkuat fondasi literasi digital
yang esensial sebelum mereka mempelajari keterampilan teknis, seperti coding
dan algoritma.
Negara Lain
Kita bisa berkaca pada negara lain yang serius menangani
kasus media sosial yang dianggap membahayakan. Berbagai negara telah menghadapi
kasus serupa terkait eksploitasi seksual melalui media sosial dan menanganinya
dengan pendekatan yang tegas dan terkoordinasi.
Salah satu kasus besar terjadi pada platform “Kidflix”,
sebuah situs eksploitasi seksual anak dengan sekitar 1,8 juta pengguna secara
global. Mengutip situs www.europol.europa.eu pada
2 April 2025, penegak hukum internasional, termasuk Europol, melakukan operasi
besar-besaran yang berhasil menangkap 79 pelaku yang terlibat dalam distribusi
materi pelecehan seksual anak. Penutupan platform ini melibatkan kerja sama
lintas negara dan penegakan hukum yang intensif untuk membongkar jaringan
pelaku dan melindungi korban.
Di Inggris, pada Oktober 2024 situs www.iwf.org.uk melaporkan penanganan
kejahatan serupa dilakukan melalui kebijakan dan aksi hukum yang komprehensif.
Laporan Independent Inquiry into Child Sexual Abuse (IICSA) mengungkap bahwa
polisi Inggris menangkap lebih dari 450 orang setiap bulan terkait kejahatan
seksual anak di dunia maya.
Penegakan hukum dilakukan secara proaktif, dengan
kolaborasi antara kepolisian, lembaga perlindungan anak, dan regulator
teknologi. Selain penegakan hukum, pemerintah Inggris juga menekan perusahaan
media sosial untuk memperketat perlindungan anak dan meningkatkan transparansi
platform mereka dalam menghapus konten berbahaya.
Thailand pun tegas melakukan penutupan dan pemblokiran
terhadap situs dan akun media sosial yang mengandung konten eksploitasi seksual
dan pornografi. Pada November 2020, pemerintah Thailand memblokir situs Pornhub
setelah muncul protes dari masyarakat terkait konten pornografi yang dianggap
merugikan dan berbahaya.
Selain itu, pemerintah Thailand juga secara tegas meminta
platform, seperti Facebook, untuk memblokir konten ilegal, termasuk konten yang
melanggar hukum Thailand, dengan ancaman tindakan hukum jika tidak mematuhi
perintah pengadilan.
*Penulis : Yayan Sakti Suryandaru adalah
dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga, Surabaya